skip to main |
skip to sidebar
TARGEDI NASIONAL DAN KONFLIK-KONFLIK INTERNAL INDONESIA
A. Dampak persoalan hubungan pusat
daerah , persaingan ideologis, dan pergolakan sosial politik
lainnya terhadap kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun 1960
an
Kabinet Ali
Sastroamidjojo mengeluarkan Undang Undang No. 1 tahun 1957 yang mengatur
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah, dimana didalamnya diatur pembagian
kekuasaan dan keuangan pusat dengan daerah.
Pada tanggal 9 April
1957 Kabinet Karya pimpinan Perdana Menteri Djuanda menggantikan Kabinet Ali
Sastroadmijojo II. Kabinet ini secara teoritis bersifat non partai, namun pada
hakikatnya kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Pada bulan Mei 1957 dibentuklah
Dewan Nasional yang terdiri dari 41 wakil golongan fungsional [ pemuda, kaum
petani, kaum buruh, kaum wanita, para cendekiawan, pemuka agama,
kelompok-kelompok daerah dan lain-lain] di tambah beberapa anggota ex officio.
Dewan Nasional ini langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno, sedangkan
pelaksana harian adalah wakil ketuanya Ruslan Abdulgani. Kalangan militer berusaha
menjamin bahwa cara-cara baru yang bersandar pada golongan golongan fungsional
yang berafiliasi dengan partai-partai. Kabinet menjalin hubngan dengan
dewan dewan militer daerah yang telah mengambil alih kekuasaan di daerah
daerahnya, bahkan memberi mereka beberapa dana dengan kedok pembangunan daerah.
Pada tanggal 10 – 14
September 1957 Kabinet Djuanda mengadakan musyawarah nasional di Jakarta. Ada
harapan bahwa musyawarah nasional yang pertama ini akan membawa hasil tentang
cara cara pemecahan riil maslah perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
dirasakan selama itu tidak adil. Para wakil dari dewan dewan daerah tampaknya
bersedia bekerjasama, tetapi setiap kali pertemuan selalu tidak mencapai
tujuan (selalu menemui jaklan buntu). Pada masa pemerintahan kabinet ini
hubungan pemerintah pusat dengan daerah semakin tidak harmonis. Hal ini
terlihat dari mumculnya berbagai pergolakan di berbagai daerah yang berhubungan
dengan perimbangan perekonomian pusat dengan daerah. Adanya konsepsi presiden
tentang Konsep Ekonomi Nasional menambah ketegangan di daerah.
Perkembangan yang terjadi sangat tidak menguntungkan pemerintah RI.
Pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang berpokok
pada masalah ekonomi dan perimbangan keuangan Pusat dan daerah makin lama makin
meningkat.
1.Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat
Gerakan-gerakan
di daerah yang menentang kebijakan perimbangan ekonomi pusat dan daerah muncul
pertama kali di Sumatera Barat, dengan berdirinya Dewan Banteng yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein. Gerakan ini menuntut otonomi daerah
kepada Pemerintah Pusat, serta pergantian kabinet Djuanda. Menyusul Dewan
Banteng, berdirilah beberapa Dewan Militer diberbagai daerah, seperti :
1. Dewan Gajah
(Medan)
: Kolonel M. Simbolon
2. Dewan Garuda
(Palembang)
:
Kolonel Barlian
3. Dewan Lambung
Mangkurat (Kalimantan)
: Kolonel M. Basri
4. Dewan Manguni (Menado) : Kolonel Ventje Samuel
Letnan Kolonel Ahmad Husein
bersama dengan beberapa tokoh sipil yang lain seperti Syarif Usman, Burhanudin
Harahap, dan Syafrudin Prawiranegara bahkan mengeluarkan ultimatum kepada
pemerintah pusat, bahwa dalam waktu 5 x 24 jam P.M. Djuanda menyerahkan
mandatnya kepada Presiden dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan
semula sebagai presiden yang konstitusional.
Menanggapi berbagai gerakan ini, KSAD segera mengeluarkan larangan bagi para
perwira untuk berpolitik dan memberikan ultimatum akan memecat siapa saja yang
terlibat gerakan politik. Karena merasa tidak diindahkan oleh pemerintah pusat,
Gerakan ini semakin mempertegas sikapnya dengan mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
dibawah pimpinan Perdana Menteri
Syafrudin Prawiranegara. Gerakan ini bertujuan bukan untuk memisahkan
diri dari RI tetapi gerakan yang bersifat menggantikan pemerintahan yang sah.
Untuk menumpas gerakan ini
pemerintah RI melaksanakan beberapa operasi, yaitu :
1.Operasi Tegas [
mengamankan Riau ] dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution
2.Operasi
17 Agustus [ mengamankan Sumatera barat ], dipimpin oleh Kol. A Yani
3.Operasi
Saptamarga [ mengamankan Sumatera Utara ] , dipimpin Brigjen Jatikusumo
4.Operasi
Sadar [ mengamankan Sumatera Selatan ] dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo.
Pada
tanggal 29 Mei 1961, Ahmad Husein berserta pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI
pun berakhir.
2.Piagam perjuangan semesta
Gerakan daerah yang berlatarbelakang perimbangan ekonomi pusat dan daerah
akhirnya meluas ke Sulawesi. Dewan Manguni yang dipimpin oleh Letkol Ventje
Samuel mendukung PRRI dan mengumumkan berdirinya Permesta pada tanggal 2 Maret
1957. Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan
daerah secara adil ( daerah surplus mendapat 70% dari hasil ekspor ).
Untuk menumpas gerakan ini pemerintah melaksanakan Operasi Merdeka, yang
merupakan operasi gabungan dan dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
Gerakan penumpasan Permesta merupakan operasi yang sangat sulit, karena medan
pertempuran sangat cocok dengan kondisi pemberontak, serta adanya indikasi
keterlibatan pihak asing (AS), yaitu dengan tertangkapnya pilot helikopter Alan
Pope (warga negara Amerika Serikat) yang berhasil ditembak jatuh oleh pasukan
TNI. Pada pertengahan tahun 1961 sisa sisa pemberontakan Permesta menyerahkan
diri dan memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke tengah tengah masyarakat.
B. Peristiwa Madiun/PKI dan cara yang dilakukan
pemerintah dalam penanggulangannya dan konflik-konflik internal lainnya
Perundingan Renville
yang sangat merugikan bangsa Indonesia, akhirnya membawa korban, yaitu dengan
dibubarkannya kabinet Amir Syarifudin dan digantikan oleh Kabinet Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifudin merasa sakit hati dan membentuk Front Demokratik
Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948, dan memposisikan dirinya sebagai
oposisi dari pemerintah kabinet Hatta.
FDR pada kemudian hari akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia
pimpinan Muso, Alimin, Semaun dan Darsono. Bersama PKI, FDR merencanakan suatu
perebutan kekuasaan. Sebelum melakukan perebutan kekuasaan gerakan ini berusaha
untuk melakukan agitasi-agitasi dengan cara merongrong, menyebarkan
berita-berita yang tidak benar tentang pemerintahan kabinet Hatta. Mereka berusaha untuk mempengaruhi rakyat dan
menimbulkan kebencian kepada pemerintah.
Puncak dari gerakan PKI ini adalah tanggal 18 September 1948 dengan mengumumkan
berdirinya Negara Soviet Republik Indonesia di Madiun. Menyertai gerakan
ini, mereka mengadakan aksi-aksi kejam, dengan mengadakan penculikan dan
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh pemerintah dan agama. Salah satu tokoh
pemerintah yang menjadi korban gerakan ini adalah Gubernur Jawa Timur, R.M.
Suryo yang diculik dan dibunuh.
Gerakan ini merupakan sebuah pengkhianatan dari dalam negeri, mengingat disaat
yang sama pemerintah dan bangsa Indonesia sedang menghadapi Agresi Militer
Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan serangkaian operasi
sebagai berikut :
Ketika kekacauan di Solo
meningkat, pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi
Gubernur Militer Surakarta dan sekitarnya (Semarang. Pati, Madiun)
mengangkat Kolonel
Soengkono sebagai Gubernur Militer jawa Timur
Menyerahkan pimpinan operasi
penumpasan kepada Panglima Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution
(karena panglima TNI / Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit)
Pada tanggal 30
September 1948 Madiun dapat direbut dan diduduki kembali oleh pasukan Brigade
Siliwangi pimpinan Mayor Ahmad Wiranatakusumah dan Brigade Jawa Timur pimpinan
Kolonel Soengkono. Dalam operasi ini pimpinan PKI Madiun, Muso berhasil
ditembak mati pada saat akan melarikan diri ke Rusia, sedangkan pimpinan yang
lain seperti, Semaun, Darsono, Alimin, dan Amir Syarifudin berhasil ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati dalam pengadilan / mahkamah militer.
Dampak dari pemberontakan PKI
Madiun ini adalah :
- Korban pemberontakan PKI dari kedua belah pihak sangat
besar, termasuk rakyat yang tidak mengerti soal politik.
- Kekuatan bangsa Indonesia dalam perjuangan menghadapi
Belanda menjadi lemah dan dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan agresi
militernya yang kedua
- Keberhasilan menumpas pemberontakan PKI Madiun
menimbulkan simpati dari dunia barat, terutama Amerika Serikat sehingga
memperkuat posisi Indonesia dalam perjuangan diplomasi melawan Belanda
C. Peristiwa
DI/TII dan Cara Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Penanggulangannya
Gerakan pemberontakan ini berawal dari gagasan / ide Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo untuk membentuk sebuah negara Islam. Kartosuwiryo mendirikan
Pondok Pesantren Sufah, di Malangbong Jawa Barat. Di pondok inilah ia
menggembeng pasukan Hizbullah dan sabillillah. Ia pernah menjadi sekretaris
partai Masyumi Jawa Barat, bahkan pernah dicalonkan sebagai Menteri Muda
Pertahanan. Namun jabatan ini tidak pernah diembannya.
Pada saat terjadi
Agresi Militer Belanda I, ia dan pasukannya melancarkan perang suci melawan
Belanda. Puncak dari peristiwa yang meletuskan pemberontakan Kartosuwiryo
adalah hasil perundingan Renville yang mengakibatkan seluruh pasukan TNI harus
melakukan hijrah ke dalam wilayyah RI di Yogyakarta. Pasukan Divisi pimpinan
Kartosuwiryo ( bagian dari Divisi Siliwangi Jawa Barat ), menyatakan tidak
bersedia hijrah. Kantong-kantong TNI yang ditinggal hijrah diisi oleh pasukan
Kartosuwiryo, dan meneruskan gerilya melawan Belanda di Jawa Barat.
Pada bulan Pebruari 1948, Kartosuwiryo mengubah gerakan suci melawan Belanda
menjadi sebuah gerakan politik, dengan menobatkan diri sebagai Imam Negara
Islam Indonesia, dan menamakan pasukannya dengan nama Tentara Islam Indonesia
(TII).
Kontak senjata pertama terjadi dengan pasukan TNI dari Divisi Siliwangi
yang baru kembali dari Yogyakarta tanggal 25 Januari 1949. Sejak saat itu terjadi perang segi tiga antara pasukan
DI/TII – TNI – Belanda.
Tindakan pemerintah dalam
menumpas gerakan DI/TII :
1. Pendekatan
oleh pimpinan Partai Masyumi : Moh. Natsir melalui surat tidak berhasil, bahkan
Kartosuwiryo secara resmi membalas surat itu dengan memproklamasikan berdirinya
Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949
2. Bulan September 1949 untuk kedua kali Moh. Natsir
membujuk Kartosuwiryo untuk menghentikan pemberontakan dan kembali ke pangkuan
RI, tetapi gagal. Bahkan sejak saat itu rakyat Jawa Barat mulai mengalami teror
dari gerombolan DI/TII yang sering melakukan pembunuhan, merampas harta benda
rakyat untuk memenuhi kebutuhan logistik pasukan / gerombolan ini.
3. Setelah tindakan persuasif tidak berhasil
mengembalikan Kartosuwiryo ke pangkuan ibu pertiwi, pemerintah bertindak tegas
dengan menggelar Operasi Pagar Betis. Operasi yang dilaksanakan dengan
bantuan rakyat Jawa barat ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak
gerombolan. Sehingga semakin hari semakin banyak para pengikut Kartosuwiryo
yang menyerahkan diri dan kembali ke tengah- tengah masyrakat. Gerombolan DI/TII terdesak di Gunung Geber,
Tasikmalaya.
4. Akhirnya
tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo beserta keluarga dan pengikutnya dapat
ditangkap hidup-hidup dalam sebuah operasi yang diberi nama sandi Operasi
Baratayudha. Dan pada tanggal 16 Agustus Kartosuwiryo dijatuhi hukuman
mati.
Pemberontakan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia, ternyata mendapat simpati dari berbagai daerah di Indonesia,
seperti :
a. Di Jawa Tengah
Gerakan ini diproklamasikan di Desa Pengarasan, kabupaten Tegal pada tanggal 23
Agustus 1949, dan menyatakan diri bergabung dengan Negara Islam Indonesia
pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini dipimpin oleh Amir Fatah, bekas anggota TNI
dari kesatuan Hizbullah.
Gerakan dapat ditumpas melalui
Operasi Banteng Negara pimpinan Kolonel Sarbini, Letkol Bachrum dan Letkol
Ahmad Yani, pada tahun 1950.
b.
Di Kebumen
Gerakan ini dipimpin
oleh Mohammad Mahfud Abdulrahman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai
Sumolangu. Seperti Amir Fatah, gerakan ini juga menyatakan sebagai bagian dari
NII Kartosuwirtyo. Gerombolan ini dapat ditumpas pada tahun 1954 melalui sebuah
operasi militer yang diberi nama Operasi Guntur.
c.
Di Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII di
Kalimantan Selatan dipimpin oleh bekas Letnan Dua TNI yang bernama Ibnu hajar.
Ia menamakan pasukannya sebagai Kesatuan Rakyat yang Tertindas [KRYT].
Semula pemerintah bertindak
persuasif terhadap gerakan ini, karena Ibnu Hajar bersedia kembali bergabung
dengan APRIS. Namun tindakan ini ternyata hanya muslihat Ibnu Hajar supaya
pasukannya semakin kuat dana kembali melakukan pemberontakan. Akhirnya
pemerintah bertindak tegas dengan menumpas habis gerakan ini pada tahun 1959.
d.
Di Sulawesi Selatan
Kahar Muzakar memulai gerakannya
pada tahun 1951 dan menamakan gerakannya dengan Komando Gerakan Gerilya
Sulawesi Selatan. Ia menuntut supaya pasukannya dimasukkan ke dalam APRIS
dengana nama brigade Hasanudin.Namun tuntutan ini ditolak pemerintah, tetapi
pemerintah memberikan wadah bagi pasukan kahar Muzakar dengan nama Korps
Cadangan Nasional.
Awalnya Kahar Muzakar menerima
tawaran pemerintah ini. Pada saat pasukan ini akan dilantik, Kahar Muzakar dan
kelompoknya melarikan diri ke hutan dengan membawa seluruh peralatan militer
yanag akan digunakan untuk pelantikan. Penipuan Kahar Muzakar ini dibalas
pemerintah dengan melakukan operasi besar besaran dari Divisi Diponegoro. Pada
bulan Pebruari 1965 Kahar Muzakar tertembak mati.
e.
Di Aceh
Kekecewaan Tengku Daud Beureuh
kepada pemerintah, karena hilangnya kedudukan militer dan turunnya status Aceh
dari sebuah dari istimewa menjadi karesidenan, menyebabkan Daud Beureuh
menyatakan diri bergabung dengan Negara Islam Indonesia ( 21 September 1953 )
Pemerintah berusaha mengatasi
pemberontakan ini dengan mendatangkan pasukan dari Sumatera Utara dan tengah.
Karena terus terdesak pasukan Daud Beureuh melakukan pemberontakan dari
hutan-hutan, di pegunungan Bukit Barisan.
Selain tindakan represif,
pemerintah juga melakukan tindakan persuasif dengan mengadakan Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aaceh, atas prakarsa Kolonel M. Yasin (Panglima Kodam I
Iskandar Muda). Musyawarah ini membawa hasil yang sangat positif, karena Daud
Beureuh akhirnya bersedia kembali ke tengah tengah masyarakat Aceh dan menerima
Amnesti dari pemerintah.
D. Keadaan politik, ekonomi, sosial,
dan budaya sebelum terjadinya peristiwa G 30 S / PKI
1. Perubahan Taktik
PKI Setelah Kegagalan Tahun 1926 dan 1948
Peristiwa pemberontakan partai Komunis Indonesia yang
terjadi pada tahun 1926 di Jawa barat dan Sumatera barat, serta tahun 1948 di
Madiun merupakan indikasi kuat akan adanya keinginan mendirikan negara komunis,
tetapi gagal. Kegagalan ini menyebabkan D.N. Aidit dan H.M. Lukman yang baru
datang dari luar negeri pada bulan Juli 1950 menata kembali partainya. Mereka
mengubah bentuk perjuangannya menjadi MKTBP ( Metode Kombinasi
Tiga Bentuk Perjuangan ), yaitu :
1.
perjuangan gerilya di desa yang teridiri dari kaum
buruh tani dan tani miskin
2.
perjuangan revolusioner kaum buruh di kota-kota,
terutama kaum buruh angkutan
3.
bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di
kalangan angkatan bersenjata
Dalam
rangka memperlancar MKTBP dibentuk Biro Khusus yang bertugas :
1.
mengembangkan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh
TNI guna menyusun potensi dan kekuatan bersenjata
2.
mengusahakan agar setiap anggota TNI yang bersedia
menjadi anggota dapat membina anggota TNI yang lain.
3.
mencatat anggota TNI yang telah dibina agar sewaktu
waktu dapat dimanfaatkan bagi kepentingannya.
Kondisi sosial
ekonomi dan politik Indonesia yang carut marut pada tahun 1950 an ikut
menentukan perkembangan pengaruh PKI, sehingga dapat tumbuh subur. Posisi PKI
semakin mantap setelah terbukti dapat meraih posisi 4 besar dalam Pemilu I
tahun 1955. Adanya konsep NASAKOM dan terbentuknya Kabinet Dwikora pada tanggal
27 Agustus 1964 sangat menguntungkan PKI, karena di dalam kabinet ini terdapat
orang-orang yang telah terpengaruh ideologi PKI dan mempunyai posisi yang
strategis, seperti Dr. Soebandrio (Waperdam I) dan Dr. Chaerul saleh (Waperdam
II). PKI juga berhasil mempengaruhi Kolonel Untung Sutopo, komandan pasukan
pengawal presiden dari resimen Cakra Birawa untuk masuk dalam kelompoknya.
Kepercayaan dan
kekuatan yang dimiliki PKI tahun 1965 semakin mantap, sehingga mereka berani
mengusulkan dibentuknya Angkatan ke 5, yaitu Buruh dan Tani yang dipersenjatai.
Namun usulan ini mendapat tantangan keras dari musuh utama PKI, yaitu Angkatan
Darat. Permusuhan PKI dengan Angkatan Darat semakin meruncing, dengan muncul
isu Dewan Jenderal yang akan menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. Isu ini
bermula dari ditemukannya dokumen di rumah peristirahatan Duta Besar Amerika
Serikat, Bill Palmer (Konon dokumen ini ditulis oleh Sir Andrew Gilchrist Dubes
Inggris untuk Dubes AS, sehingga dikenal dengan nama ”Dokumen Gilchrist”) yang
isinya menyebutkan adanya persekongkolan para perwira tinggi Angkatan darat
yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris
Nasution untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. (catatan : sampai
sekarang kebenaran dokumen ini masih diragukan).
Munculnya isu ini menimbulkan
perasaan curiga dan saling tuduh antara PKI dengan Angkatan Darat. Situasi semakin memanas, dan menimbulkan rencana PKI
untuk menyingkirkan para perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak dapat
dipengaruhi oleh ideologi PKI.
2. Konfrontasi Dengan
Malaysia
Tahun 1961 Inggris merencanakan untuk memberi kemerdekaan kepada Federasi
Malaya, yang wilayahnya meliputi : Semenanjung Melayu, Brunei, Singapura, Sabah
dan Serawak. Rencana ini ditentang oleh Indonesia dan Philipina. Presiden
Soekarno menganggap berdirinya Federasi Malaya sebagai bentuk dari Neo
Kolonialisme Inggris yang sangat membahayakan revolusi Indonesia yang belum
selesai. Sedangkan Philipina menentang karena wilayah Sabah dahulu merupakan
wilayah kasultanan Sulu di Philipina Selatan.
Untuk menengahi perselisihan tiga anegara tersebut, diadakanlah Konferensi
Maphilindo ( KTT Manila) pada bulan Juli-Agustus 1963, yang menghasilkan
kesepakatan ”bahwa ketiga negara sepakat untuk meminta Sekjend PBB (U Than)
menyelidiki keinginan rakyat-rakyat di daerah yang akan menjadi anggota
federasi”.
Atas kesepakatan tersebut, PBB
mengirim diplomat Michelmoore untuk melakukan penyelidikan, namun belum selesai
penyelidikan dilakukan, P.M. Tengku Abdurrahman sudah mengumumkan berdirinya
Federasi Malaya pada tanggal 16 September 1963, dengan wilayah : Semenanjung
Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak.
Tanggal 17 September pemerintah RI mengumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Malaysia dan Inggris. Kedutaan Malaysia dan
Inggris di jakarta di demonstrasi oleh ribuan massa pada tanggal 18 September
1963.
Konfrontasi mencapai puncaknya
ketika Prersiden Soekarno mengumumkan Dwikora tanggal 3 Mei 1964 yang isinya :
Perhebat ketahanan revolusi
Indonesia
Bantu perjuangan rakyat
Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei untuk menggagalkan negara
boneka Federasi malaya bentukan Inggris.
Untuk memperlancar operasi, dibentuk Brigade Sukarelawan Bantuan Tempur
Dwikora pimpinan Kolonel Sobirin Mochtar. Konfrontasi
ini terus berlangsung sampai dengan awal masa orde baru.
3. NEFO dan OLDEFO
Berawal dari KTT Non
Blok 1964 di Kairo Mesir, Presiden Saoekarno memperkenalkan konsep tentang The
New Emerging Forces (NEFO) yang anggotanya terdiri dari negara-negara berkembang
dan anti nimperialisme. Gerakan ini dimaksudkan untuk melawan kelompok yang
oleh Soekarno disebut OLDEFO (Old Establising Frorces) yaitu kelompok negara
negara imperialis pimpinan Amerika Serikat. Namun usaha ini ditentang oleh
Anggota Gerakan Non Blok. Karena kegagalan usaha ini Presiden Soekarno
menjalankan politik diplomasi dengan tujuan:
usaha menarik negara-negara
Afrika dan timur Tengah untuk mendukung rencana Indonesia mengadakan
CONEFO (Konferensi Negara NEFO) dengan didahului oleh GANEFO (Games of New
Emerging Forces) di Jakarta
pembentukan poros Jakarta –
Pnom Penh – Peking – Pyong Yang sebagai poros anti imperialis dan
kolonialis
Politik Indonesia
ini semakin membuat Indonesia terkucil dari pergaulan internasional.
4. Keluar dari PBB (7
januari 1965)
Alasan Indonesia
keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965 adalah :
kegagalan dalam menghadapi
terbentuknya federasi sehingga Indonesia menjalankan politik konfrontasi
kegagalan menentang masuknya
Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Kegagalan-kegagalan
ini menjadi pukulan berat bagi pemerintahan Presiden Soekarno, sehingga
memutuskan diri untuk keluar dari keanggotaan PBB. Keadaan
ini semakin mengisolasi pemerintahan Republik Indonesia dari pergaulan
internasional.
E. Peristiwa G 30 S/ PKI dan cara
penanggulangannya
Pada tanggal 4 Agustus 1965 kondisi Presiden Soekarno sangat
mengkhawatirkan., pada saat itu beliau sakit muntah muntah dan pingsan, dan
menurut team dokter dari Cina yang memeriksanya terdapat dua kemungkinan dengan
kondisi presiden, yaitu meninggal atau lumpuh. Diagnosa team dokter dari Cina
ini membuat para pimpinan PKI segera mnengambil sikap untuk secepatnya
melakukan gerakan sebelum akhirnya presiden meninggal.
Dimulai dari desa
Lubang Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00 WIB dini hari mereka
melakukan Gerakan penculikan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu
:
Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution
Menteri Panglima Angkatan Darat (MenPangad), Letnan Jenderal Ahmad
yani
Deputi II Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeprapto
Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayor jenderal Haryono Mas
Tirtodarmo
Asisten I Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soewondo Parman
Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Icasus
Panjaitan
Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan darat, Mayor Jenderal
Sutoyo Siswomihardjo
Dalam peristiwa penculikan, dari
ketujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut mengalami nasib yang tidak sama
:
1. Jenderal Abdul Haris Nasution
berhasil lolos dari penculikan dengan meloncat pagar rumah Wakil Perdana
Menteri III Dr. J. Leimena. Tetapi puterinya yang berusia 5 tahun terpaksa
menjadi korban keganasan G 30 S / PKI : Ade Irma Suryani Nasution terkena
peluru yang ditembakkan oleh PKI. Beliau kemudian bersembunyi di tempat yang
dirahasiakan, dengan kondisi kedua kaki terluka.
2. Letnan Jenderal Ahmad Yani dan
Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan dibawa dalam kondisi meninggal setelah di
tembak di rumah beliau masing-masing.
3. Haryono M.T., Sutoyo
Siswomihardjo, S. Parman dan Soeprapto di bawa dalam keadaan hidup ke desa
Lubang Buaya.
4. Selain para perwira tinggi
tersebut dan Ade irma Suryani, terdapat korban lain keganasan gerombolan ini,
yaitu :
a. Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (ajudan Waperdam
III Dr. J. Leimena) yang
tertembak mati,
pada saat gerombolan salah sasaran masuk ke rumah Dr. J. Leimena,
yang di kira rumah A.H. Nasution.
b. Letnan Satu Pierre Tendean
(ajudan Jenderal AH Nasution) yang ditangkap hidup -
hidup karena
dikira dia lah Nasution.
c.
Polisi Sukitman yang tertangkap secara tidak sengaja pada saat meronda di
sekitar
Lubang Buaya. Tetapi berhasil lolos dari maut.
Sementara itu pada tanggal 1 Okto0ber 1965 sore hari terjadi penculikan dan
pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel Katamso dan
Wakilnya Letnan Kolonel Sugiono.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto
(Pangkostrad) mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena nasib para
pemimpin Angkatan Darat belum diketahui. Pada hari itu juga Mayjend. Soeharto
menunjuk Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (komandan RPKAD) sebagai Komandan
penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta, sedangkan di Jawa Tengah penumpasan
di pimpin oleh Pangdam VII Diponegoro Brigjend. Suryo Sumpeno. Sebagai komandan
pasukan penumpasan G 30 S, tugas pertama Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah
merebut kembali RRI Stasiun Pusat Jakarta yang telah berhasil dikuasai
gerombolan.
Tanggal 2 Oktober 1965 pasukan Kol. Sarwo Edhie melakukan penyisiran di sekitar
Lapangan terbang Halim Perdana Kusuma, karena dari daerah inilah (Lubang Buaya)
pada tanggal 1 Oktober terdengar suara suara gaduh dan tembakan. Kedatangan
pasukan ini membuat gerombolan yang masih berada di Lubang Buaya kalang kabut
dan melarikan diri, meninggalkan Brigadir Polisi Sukitman yang masih terikat di
pohon.
Berdasarkan petunjuk Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari sekapan
gerombolan, jenazah para perwira AD dapat ditemukan pada tanggal 3 Okrtober
1965 dan dimakamkan di TMP Kalibata pada tanggal 5 Oktober 1965. Pada tanggal
ini juga Ade Irma Suryani Nasution meninggal di rumah sakit setelah koma sejak
tanggal 1 Oktober 1965..
Operasi penumpasan G 30 S berlangsung diberbagai daerah. Selain di jakarta dan
Jawa Tengah, operasi penumpasan juga dikembangkan untuk memburu para gembong
penculikan sampai daerah Blitar Selatan. Operasi Militer di Blitar Selatan
diberi nama Operasi trisula, sedangkan diperbatasan Jawa Tengah dengan Jawa
Timur diberi nama Operasi Kikis. Operasi-operasi tersebut berhasil menangkap
dan menembak tokoh-tokoh G 30 S / PKI. Dalang utama G 30 S / PKI, D.N., Aidit
tertembak mati pada tanggal 24 Nopember 1965.
Tanggal 1 Desember 1965 dibentuk
Komando Merapi yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk memburu
gembong pemberontak yang lari ke Jawa Tengah. Dalam operasi ini berhasil
ditembak mati gembong-gembong pemberontak, seperti : Kol. Sahirman, Kol.
Maryono, Letkol Usman, Mayor Samadi, Mayor RW Sakirno dan Kapten
Sukarno.Sedangkan tokoh-tokoh yang tertangkap hidup-hidup seperti Letkol Untung
Sutopo, diadili dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada tanggal 14
Pebruari 1966.
0 komentar:
Posting Komentar